Wednesday 29 September 2010

Aku Mencintaimu, Mari Mencintai Kemanusiaan...

Ada yang ngilu di sini. Di bagian tengah dada.
Disanakah letak hati?
Mungkin…

Sepertinya hati saya memang yang ngilu, dan itu baru kerasa bener malam ini. Ini bukan hati yang memar ngilu karena rindu, atau hati yang terjerat banyak linu karena perkara-perkara kesibukan kerja atau hal-hal asmara-sedih-bahagia yang membelitnya, nggak… bukan.

Ini ngilu yang seperti kena tonjokan-tonjokan semu. Berasal dari kata-kata kasar orang-orang yang beberapa hari ini saya rekam, bersumber dari kalimat-kalimat keji mereka yang tertampung dalam pita kamera. Kata-kata tanpa suara pri-kemanusiaan dan amat merendahkan yang diuarkan dengan nada penuh benci serta bengis yang ketika merekamnya, saya terus berusaha mensabarkan diri, menstabilkan emosi dan mendiamkan marah, menaruhnya di rak perasaan terbawah saya.





Membalas orang marah dengan kemarahan hanyalah akan menjadi amok yang tak pernah moksa, saya tahu saya nggak mau itu. Itu bukan tujuan kami merekam segela peristiwa tersebut. Lagipula apakah mereka benar-benar marah? Apakah mereka benar-benar nggak suka dan benar-benar pengen agar teman-teman saya yang GAY, LESBIAN, WARIAN, BISEKSUAL dll itu dibakar – sebagaimana yang mereka kecamkan? Tidakkah ada konspirasi politik besar di sebaliknya? Mengapa mereka sebegitu bencinya pada yang berbeda - bila dalam quran dikatakan tuhan mencipta banyak perbedaan untuk rukun dan disatukan, bila dalam sujud pada shalat mereka harusnya mereka menyeru pada sang pencinta? Kemana perginya segala kelembutan yang harusnya ada dalam hati tiap insan yang tersentuh seru tuhan..?

Saya nggak menemukannya. Saya hanya terus dan terus melihat kekerasan, kekerasan, ancaman, kecaman, kata-kata kasar, mengatakan para manusia yang mereka kecam lebih rendah dari binatang… itukah jejak agama dan berkas tuhan dalam yang tertampung dalam diri mereka?

Nggak!
Saya nggak percaya!


Saya sama sekali nggak percaya bila tuhan ada dalam kata keji yang diucapkan dari bibir mereka atau dalam teriakan yang membuat jakun-jakun para pria bersurban dan sebagiannya berjenggot itu tertarik sangat kencang ketika meneriakkan “ALLAHU AKBAR!”




Agama saya islam. Dan ada yang sakit juga, di sini, di dada ini, ketika poster-flyer-pamplet-spanduk tersebut berkibar-kibar dan semua di atasnya ditulis besar-besar nama agama saya: islam. Terpampang kurang lebihnya di sana, selalu aroma benci dengan mengatasnamakan agama yang saya peluk itu , ISLAM MELAKNAT HOMOSEK, LESBIAN DAN GAY. Atau kalimat seperti TERKUTUK PERBUATAN SESAMA JENIS YANG MENYEBABKAN BANGSA KITA BERGELIMANG DOSA. PEREKRUTAN GENERASI ISLAM UNTUK MENJADI HOMOSEK HARUS DIHENTIKAN! HOMOSEK, GAY, LESBIAN, MEMBUAT ALAM MARAH DAN MUSIBAH TERJADI DIMANA-MANA DI BUMI KITA.I

Lalu pertanyaan amat standar serupa gelembung sabun rapuh yang pasti buncah itu muncul….
Alam yang marah, bukankah itu karena kita tak mengasihi, memeluk dan menjaganya?
Bangsa yang bergelimang dosa, bukankah itu karena korupsi, ketidak-adilan, dan kekerasan terjadi dimana-mana?
…kaum homo…, benarkah mereka yang membuat negara ini terkutuk? Apa salah mereka…


Lalu wajah-wajah itu juga datang di permukaan kepala saya:
Lelaki, juga perempuan.
Juga yang lelaki tapi seperti perempuan
Atau yang perempuan seperti lelaki.
Mereka baik dan menyenangkan…
Udara penuh gelora dan energi positif bila bersama teman-teman saya itu
Mereka yang disebut di negara ini sebagai para minoritas seksual…

Bila kecaman datang bertubi-tubi dan yang bekuasa hanya bisa diam membiarkan mereka yang sok kuasa atas nama moral dan islam terus bergentayangan seperti arwah-arwah penasaran tak dikasih makan...

Bagaimana teman-teman saya yang gay dan mereka sangat santun serta tak pernah mengganggu orang? Bagaimana teman saya yang lesbian dan dia punya anak dan mengalirkan semua kasih ibu serta cinta agungnya kepada anak juga pasangannya? kenapa tuhan bikin ada orang-orang itu kalau mereka cuma akan menjadi lalapan neraka belaka? Kenapa tuhan membujuk mereka untuk jadi binan, lesbian, waria? Kok tuhan kalau dilihat dari kepala sempit mereka kaum sok paling memiliki agaman itu, Dia jadinya di kepala saya seperti tuhan yang bengis sadis dan tega amat yaaaa…sama sekali bukan tuhan yang ramah...

Saya hanya mau merekam peristiwa, saya nggak mau menabung benci atau menjadi penyerap energi negatif orang-orang berpakaian putih ber-surban yang kemana-mana keluyuran di Jakarta meneriakkan kata-kata benci dan bakar sambil mengatasnamakan islam… tapi setelah kemarin merekam lalu mendigitizing hasil rekaman, dan sore ini melihat bagaimana sekelompok anak muda (mereka amat sangat muda, maaaannn! Whadefaaakkkk!!!) membuat performance art dari gerakan suci ruku yang notabene menggunakan pantat untuk nungging – tapi mereka gunakan gerakan itu untuk nunggingin – Goethe Haus yang kata mereka merupakan tempat sarang setan dimana berlangsungnya peristiwa maksiat, PLUSSS... ditambah malam ini nggak bisa pulang cepat karena ada terjadi gank war di route perjalanan pulang saya, diam tapi pasti rasa ngilu itu merambah… merampas tiba-tiba keceriaan dari bilik hati saya saat berkumpul dengan teman-teman pada malam di Goethe haus barusan.

Saya sedang belajar tentang cinta. Kali ini tidak dari Rumi atau buku-buku puisi. Tidak juga dari buku panduan atau teori-teori cinta ala Erich Fromm atau Teilhard de Cardin yang bisa ditemukan dalam lembar-lembar halaman buku psikologi sekolahan. Saya sedang belajar tentang cinta dari pengalaman dan energi positif orang-orang di sekitar saya, sosok-sosok yang sangat nyata dan bisa disentuh dalam mushaf keseharian. Tapi semua peristiwa hari-hari ini ~~(bisa dilihat di internet lah apa yang terjadi di Jakarta dalam dua pekan ini: penusukan pendeta HKBP di ciketing, 2 orang mati dalam kebrutalan massal di ampera tadi pagi, FPI gentayang nyisir Q-FilmFest & anggotanya, anak muda harapan bangsa [t] yang membuat hati teriris karena begitu muda begitu fundamentalis serta gank war yang halllooowww… ajib bener karena polisi nggak bisa menghentikannya)~~ membuat segala ngilu yang menumpuk jadi seperti beban dan marah yang mengejewantah lirih serta tak bisa saya bendung lagi..

Dalam perjalanan dengan sedikit hujan dalam mobil tumpangan teman, Atid, rasa ngilu itu semakin merambah. Ngilu yang menimbulkan lemas dan mendesak sedih sampai ke kubikal airmata. Ini pasti bukan PMS atau pre mestruation syndrom yang mendorong melankoli berkali-kali. Kayanya siyh nggak…

Saya yakin perasaan ini timbul karena saya terus wondering dan tetap bertanya tentang kemana cinta dan kelembutan yang hilang pergi seperti tak bersisa, lalu cuma meninggalkan gerowong dari hati orang-orang FPI tersebut? ...Ini pasti karena saya terus-terusan bermimpi bahwa di suatu hari yang bercuaca cerah dan dengan suasana hati yang bagus, kita dan orang-orang itu, akan bisa saling sapa dan saya bisa saling berkata, “Tahukah kau bahwa selama ini aku mencintaimu? Kenapa kau sebegitu bencinya kami? Tidakkah kau dan aku – kita, rindu pada cinta akan sesama, bahwa aku juga mencintaimu dan kau mencintaiku dalam segala bentuk hormat yang bermartarbat?”



Sungguh, dengan kelembutan dan kasih, saya amat mengharap suatu hari hati keras mereka bisa penuh dengan desiran lembut cahaya yang pelan tapi pasti membuat mereka merekahkan taman cinta itu di hati dan bibirny juga. membuat mereka pada akhirnya bisa juga berkata: “aku juga mencintaimu, aku juga mencintai kemanusiaan…”

Sungguh, aku ingin mendengar pernyataan itu keluar dari bibirmu suatu hari nanti
Ya, suatu hari…


Karena saya yakin, seperti kasih air yang menekuk bibir batu, begitulah cara kerja kasih pada hati yang keras dan kasar. Kekerasan, hanya bisa takluk pada kelembutan.

I DO BELIEVE.


~~~~~~~~~~~

Tuhan yang baik,
Hidarkan saya dari yang jahat dan yang sedih

No comments:

Post a Comment