Saturday 21 August 2010

Ice Man (Short Story by Haruki Murakami)



Aku menikahi manusia es.

Pertama bertemu dengannya di sebuah hotel di ski resort, tempat paling sempurna untuk menemukan manusia es, memang. Lobby hotel begitu riuh dengan anak muda yang ramai di situ, tapi manusia es duduk sendiri di kursi sudut yang letaknya paling jauh dari perapian, diam membaca buku. Meski sudah hampir malam, tapi cahaya dingin pagi awal winter terlihat mengitarinya.

“Lihat! itu si manusia es,” bisik temanku. Waktu itu, aku sungguh tak tahu mahluk apa itu manusia es. Temanku juga. “Dia pasti terbuat dri es. Itu sebabnya orang-orang menyebutnya manusia es”. Temanku mengatakan hal tersebut dalam nada serius seolah dia sedang membicarakan hantu atau seseorang dengan penyakit menular.

Manusia es tinggi, tampak muda, tegap, sedikit bagian rambutnya tampak putih seperti segenggam salju yang tak meleleh. Tulang pipinya tajam meninggi seperti batu yang beku, dan jarinya embun beku putih yang seolah abadi. Namun begitu, manusia es terlihat seperti manusia normal. Dia tidak seperti lelaki yang bisa kamu sebut tampan memang, tapi dia terlihat begitu menarik - tergantung dari bagaimana kau melihatnya. Dalam suatu kesempatan, sesuatu tentang dia menusukku sampai ke hati. Aku merasakan hal tersebut terutama saat memandang matanya. Tatapannya senyap dan transparan seperti serpih cahaya dalam untaian tetes salju di pagi musim dingin.. seperti kilatan kehidupan dalam tubuh mahluk buatan.

Aku berdiri beberapa saat memperhatikan si manusia es dalam jarak. Dia tidak menoleh. Dia hanya duduk diam, tak bergerak. Membaca bukunya seakan tiada seorangpun yang ada disana selain dirinya...

(bersambung)

No comments:

Post a Comment